RELEVANSI PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA SEKTOR USAHA KECIL MENENGAH. Masihkah Sebatas Wacana?
Oleh: Iyuk Wahyudi *
Beberapa waktu lalu penulis diminta oleh salah satu asosiasi profesi untuk menjadi salah satu pembicara dalam seminar sehari dengan tema: “Penerapan Good Corporate Governance (GCG) pada Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM), urgensi dan implikasinya”. Menarik memang, mengingat sebenarnya GCG merupakan suatu konsep manajerial yang diarahkan untuk segmen korporasi (corporate) atau organisasi yang telah memiliki struktur dan internal system yang proven. Sehingga tidaklah heran ketika tiba-tiba muncul pertanyaan di benak kita, relevankah konsep GCG diterapkan pada sektor usaha kecil menengah yang tentunya berbeda dengan skala korporasi? Tentunya hal itu akan menjadi bahan wacana yang debatable.
Apakah Good Corporate Governance (GCG) itu?
Beberapa kalangan mendefisikan Good Corporate Governance sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengelola (manajemen), pihak kreditur, pemerintah, karyawan, semua pihak-pihak intern maupun ekstern perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing mereka. Dengan satu tujuan meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak (stakeholders).
Secara konseptual, GCG setidaknya mengandung 3 nilai luhur (value) yang berlaku bagi pelaku bisnis manapun, tentunya bagi mereka yang masih berpegang pada business etics, yaitu: Transparansi (Transparancy), akuntabilitas(accountability), dan keadilan (fairness). Transparansi, mengajarkan kepada kita bagaimana berusaha secara transparan tanpa berupaya menutup-nutupi berbagai hal yang memang semestinya menjadi hak publik. Akuntabilitas mengajarkan kepada kita tentang bagaimana usaha itu dijalankan secara terarah, terukur, dan terencana secara baik. Sedangkan fairness mengajarkan kepada kita tentang bagaimana usaha itu mampu memberikan nilai tambah positif yang dapat dinikmati oleh semua pihak secara fair dan proporsional.
Kita tentunya sepakat bahwa ketiga nilai yang terkandung dalam konsep GCG tersebut merupakan nilai universal yang semestinya menjadi acuan dan pegangan bagi semua entitas bisnis, baik usaha besar maupun kecil.
Lalu muncul pertanyaan apakah konsep GCG relevan diterapkan untuk usaha skala kecil-menengah? Ataukah hal tersebut hanya merupakan konsep yang terlalu dipaksakan? Untuk menjawabnya, selayaknya kita perlu menengok lebih ke dalam mengenai kondisi riil dan fakta dari UKM itu sendiri.
Ada beberapa fakta objektif yang menjadi trademark UKM saat ini, antara lain:
- Model pengelolaan manajemen UKM yang mayoritas masih one man show atau single fighter
- Belum dikenal pemilahan antara aset dan kepentingan pribadi dengan bisnis.
- Sebagian besar struktur modal UKM masih di dominasi modal sendiri. (kesengajaan atau keterpaksaan?)
- Transparansi dan pengelolaan keuangan secara profesional belum menjadi suatu kebutuhan.
- Pola pikir jangka pendek, mudah puas, dan tanpa perencanaan usaha yang matang dan terarah.
Kelima fakta tersebut diatas, disadari atau tidak, dipercaya akan dapat menghambat efektifitas penerapan konsep GCG di sektor usaha kecil-menegah. Karena bagaimanapun juga fakta yang ada itu tampaknya berlawanan dengan lingkungan yang disyaratkan untuk terlaksananya prinsif GCG secara baik. Sebagai contoh, untuk mewujudkan nilai transparansi, akuntabilitas, dan fairness, konsep GCG menghendaki adanya pembagian fungsi dan kewenangan antara komisaris dan manajemen. Sebab tanpa hal itu hanya akan menghambat efektifitas kerja dan memungkinkan terjadinya conflic of interest diantara kedua fungsi yang memang berbeda itu. Namun justru yang terjadi di sektor UKM, adalah kedua fungsi dan peran tersebut sering kali berada dalam satu figur. Seseorang bisa menjabat sebagai direktur sekaligus pemilik perusahaan, bahkan tak jarang fungsi-fungsi yang lain pun dirangkapnya. Kita sering menyebutnya dengan istilah gaya manajemen one man show atau single fighter.
Contoh yang lain, hampir sebagian besar UKM belum tertarik dan concern untuk menerapkan sistem informasi keuangan yang standar dalam perusahaan. Pertanyaannya bagaimana transparansi dan akuntabilitas bisa terwujud bila tidak adanya dukungan sistem akuntansi dan pelaporan yang standar dan tertata rapi?
Peluang
Dari berbagai kendala yang ada tersebut diatas tentunya membuat banyak kalangan merasa ragu terciptanya GCG pada sektor UKM. Namun sebenarnya bila kita kaji lebih jauh lagi tetap saja ada peluang untuk “melegitimasi” dimungkinkannya prinsif GCG bagi UKM. Beberapa diantaranya, yaitu:
- UKM sangat concern dan responsif terhadap berbagai issue lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh keberadaan usahanya. Bagi pengusaha UKM, yang ditakutkan bukan sanksi hukum formal, melainkan sanksi sosial yang terkadang justru dirasakan lebih “kejam”.
- Motif UKM lebih bersifat sosio-profit oriented, sehingga dapat mencegah terjadinya ekses-ekses negatif akibat keserakahan “kapitalisme”. UKM telah merasa “cukup” tatkala mampu menghidupi beberapa karyawan lokal dan keluarganya di rumah. Walaupun untuk usahanya sendiri, terkadang hanya sebatas “sekedar survive”.
- Pada dasarnya di dalam budaya kita, terkandung nilai-nilai dan prinsif GCG, seperti fairness, saling keterbukaan, saling peduli, jujur, dan sebagainya. UKM memiliki hubungan yang sangat erat dengan budaya yang dianutnya. Dengan kata lain, sebenarnya secara tidak sadar, selama ini UKM pun telah menjalankan sebagian dari prinsif-prinsif GCG itu.
Ketiga hal tersebut diatas, secara philosofy sangat relevan dan mendukung terselenggaranya prinsip good corporate governance di lingkungan UKM.
Rekomendasi
Dengan menimbang berbagai kendala dan peluang yang ada, dapat disimpulkan sebenarnya prinsip dan konsep GCG dapat saja diterapkan pada usaha skala kecil-menengah, walaupun hal itu memang tidak mudah. Ada beberapa saran yang tampaknya perlu dijalankan oleh siapapun yang menghendaki prinsip dan konsep GCG aplicable pada sektor UKM, yaitu:
- Semua pihak terkait sebaiknya meningkatkan intensitas dan kualitas sosialisasi GCG guna meyakinkan pada pelaku UKM bahwa GCG akan memberikan benefit yang signifikan bagi kemajuan usahanya.
- Semua pihak terkait mampu mengadaptasi nilai-nilai GCG dengan culture UKM secara tepat dan komprehensif.
- Penerapan GCG di sektor UKM sebaiknya dilakukan secara bertahap, terarah, dan profesional (tidak berbasis pada kepentingan dan tujuan jangka pendek)
- Dukungan semua pihak (stakeholders), pelaku usaha, pemerintah, karyawan, LSM, asosiasi profesi, investor, perbankan, perguruan tinggi, dan masyarakat pada umumnya, dalam menciptakan situasi kondusif bagi terciptanya GCG di sektor UKM mutlak diperlukan.
Demikianlah, semoga wacana ini bisa menjadi sumbangsih pemikiran bagi pihak-pihak yang secara serius menghendaki diterapkannya konsep GCG ini pada sektor usaha kecil-menengah.
Yogyakarta, 10 Agustus 2003