GCG for SME’s

RELEVANSI PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE  PADA SEKTOR USAHA KECIL MENENGAH. Masihkah Sebatas Wacana?

Oleh: Iyuk Wahyudi *

 

 

Beberapa waktu lalu penulis diminta oleh salah satu asosiasi profesi untuk menjadi salah satu pembicara dalam seminar sehari dengan tema: “Penerapan Good Corporate Governance (GCG) pada Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM), urgensi dan implikasinya”. Menarik memang, mengingat sebenarnya GCG merupakan suatu konsep manajerial yang diarahkan untuk segmen korporasi (corporate) atau organisasi yang telah memiliki struktur dan internal system yang proven. Sehingga tidaklah heran ketika tiba-tiba muncul pertanyaan di benak kita, relevankah konsep GCG diterapkan pada sektor usaha kecil menengah yang tentunya berbeda dengan skala korporasi? Tentunya hal itu akan menjadi bahan wacana yang debatable.

 

Apakah Good Corporate Governance (GCG) itu?

Beberapa kalangan mendefisikan Good Corporate Governance sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengelola (manajemen), pihak kreditur, pemerintah, karyawan, semua pihak-pihak intern maupun ekstern perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-masing mereka. Dengan satu tujuan meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak (stakeholders).

 

Secara konseptual, GCG setidaknya mengandung 3 nilai luhur (value) yang berlaku  bagi pelaku bisnis manapun, tentunya bagi mereka yang masih berpegang pada business etics, yaitu: Transparansi (Transparancy), akuntabilitas(accountability), dan keadilan (fairness). Transparansi, mengajarkan kepada kita bagaimana berusaha secara transparan tanpa berupaya menutup-nutupi berbagai hal yang memang semestinya menjadi hak publik. Akuntabilitas mengajarkan kepada kita tentang bagaimana usaha itu dijalankan secara terarah, terukur, dan terencana secara baik. Sedangkan fairness mengajarkan kepada kita tentang bagaimana usaha itu mampu memberikan nilai tambah positif yang dapat dinikmati oleh semua pihak secara fair dan proporsional.

 

Kita tentunya sepakat bahwa ketiga nilai yang terkandung dalam konsep GCG tersebut merupakan nilai universal yang semestinya menjadi acuan dan pegangan bagi semua  entitas bisnis, baik usaha  besar maupun kecil.

 

Lalu muncul pertanyaan apakah konsep GCG relevan diterapkan untuk usaha skala kecil-menengah? Ataukah hal tersebut hanya merupakan konsep yang terlalu dipaksakan? Untuk menjawabnya, selayaknya kita perlu menengok lebih ke dalam mengenai kondisi riil dan fakta dari UKM itu sendiri.

 

Ada beberapa fakta objektif yang menjadi trademark UKM saat ini, antara lain:

  • Model pengelolaan manajemen UKM yang mayoritas masih one man show atau single fighter
  • Belum dikenal pemilahan antara aset dan kepentingan pribadi dengan bisnis.
  • Sebagian besar struktur modal UKM masih di dominasi modal sendiri. (kesengajaan atau keterpaksaan?)
  • Transparansi dan pengelolaan keuangan secara profesional belum menjadi suatu kebutuhan.
  • Pola pikir jangka pendek, mudah puas, dan tanpa perencanaan usaha yang matang dan terarah.

 

Kelima fakta tersebut diatas, disadari atau tidak, dipercaya akan dapat menghambat efektifitas penerapan konsep GCG  di sektor usaha kecil-menegah. Karena bagaimanapun juga fakta yang ada itu tampaknya berlawanan dengan lingkungan yang disyaratkan untuk terlaksananya prinsif GCG secara baik. Sebagai contoh, untuk mewujudkan nilai transparansi, akuntabilitas, dan fairness, konsep GCG menghendaki adanya pembagian fungsi dan kewenangan antara komisaris dan manajemen. Sebab tanpa hal itu hanya akan menghambat efektifitas kerja dan memungkinkan terjadinya conflic of interest diantara kedua fungsi yang memang berbeda itu. Namun justru yang terjadi di sektor UKM, adalah kedua fungsi dan peran tersebut sering kali berada dalam satu figur. Seseorang bisa menjabat sebagai direktur sekaligus pemilik perusahaan, bahkan tak jarang fungsi-fungsi yang lain  pun dirangkapnya. Kita sering menyebutnya  dengan istilah gaya manajemen one man show atau single fighter.

 

Contoh yang lain, hampir sebagian besar UKM belum tertarik dan concern untuk menerapkan sistem informasi keuangan yang standar dalam perusahaan. Pertanyaannya bagaimana transparansi dan akuntabilitas  bisa terwujud bila tidak adanya dukungan sistem akuntansi dan pelaporan yang standar dan tertata rapi?

 

 

Peluang

Dari berbagai kendala yang ada tersebut diatas tentunya membuat banyak kalangan merasa ragu terciptanya GCG pada sektor UKM. Namun sebenarnya bila kita kaji lebih jauh lagi tetap saja ada peluang untuk “melegitimasi” dimungkinkannya prinsif GCG bagi UKM. Beberapa diantaranya, yaitu:

  • UKM sangat concern dan responsif terhadap berbagai issue lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh keberadaan usahanya. Bagi pengusaha UKM, yang ditakutkan bukan sanksi hukum formal, melainkan sanksi sosial yang terkadang justru dirasakan  lebih “kejam”.
  • Motif UKM lebih bersifat sosio-profit oriented, sehingga dapat mencegah terjadinya ekses-ekses negatif akibat keserakahan “kapitalisme”. UKM telah merasa “cukup” tatkala mampu menghidupi beberapa karyawan lokal dan keluarganya di rumah. Walaupun untuk usahanya sendiri, terkadang hanya sebatas  “sekedar survive”.
  • Pada dasarnya di dalam budaya kita, terkandung nilai-nilai dan prinsif GCG, seperti fairness, saling keterbukaan, saling peduli, jujur, dan sebagainya. UKM memiliki hubungan yang sangat erat dengan budaya yang dianutnya. Dengan kata lain, sebenarnya secara tidak sadar, selama ini UKM pun telah menjalankan sebagian dari prinsif-prinsif GCG itu.

 

Ketiga hal tersebut diatas, secara philosofy sangat relevan dan mendukung terselenggaranya prinsip good corporate governance di lingkungan UKM.

 

Rekomendasi

Dengan menimbang berbagai kendala dan peluang yang ada, dapat disimpulkan sebenarnya prinsip dan konsep GCG dapat saja diterapkan pada usaha skala kecil-menengah, walaupun hal itu memang tidak mudah. Ada beberapa saran yang tampaknya perlu dijalankan oleh siapapun yang menghendaki prinsip dan konsep GCG aplicable pada sektor UKM, yaitu:

 

  • Semua pihak terkait sebaiknya meningkatkan intensitas dan kualitas sosialisasi GCG guna meyakinkan pada pelaku UKM bahwa GCG akan memberikan benefit yang signifikan bagi kemajuan usahanya.
  • Semua pihak terkait mampu mengadaptasi nilai-nilai GCG dengan culture UKM secara tepat dan komprehensif.
  • Penerapan GCG di sektor UKM sebaiknya dilakukan secara bertahap, terarah, dan profesional (tidak berbasis pada kepentingan dan tujuan jangka pendek)
  • Dukungan semua pihak (stakeholders), pelaku usaha, pemerintah, karyawan, LSM, asosiasi profesi, investor, perbankan, perguruan tinggi, dan masyarakat pada umumnya, dalam menciptakan situasi kondusif bagi terciptanya GCG di sektor UKM mutlak diperlukan.

 

Demikianlah, semoga wacana ini bisa menjadi sumbangsih pemikiran bagi pihak-pihak yang secara serius menghendaki diterapkannya konsep GCG ini pada sektor usaha kecil-menengah.

Yogyakarta, 10 Agustus 2003

 

Soekarno, Soeharto, dan Kearifan Kita

BUNG KARNO, PAK HARTO, DAN KEARIFAN KITA

Sebuah Renungan dan Pembelajaran Kepemimpinan

 

Hari Minggu, 27 Januari 2008, Pkl. 13.10 WIB, akhirnya Pak Harto, salah satu putera terbaik dan mantan orang nomor satu di Republik ini meninggal dunia.. Bagi saya, Pak Harto adalah tokoh pujaan, dan salah satu putera terbaik bangsa yang telah memberikan kontribusi besar bagi perjalanan panjang bagi negeri ini. Sama halnya dengan seniornya beliau, Bung Karno. Pemimpin besar dan salah satu pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Pak Harto dimakamkan di Astana Giribangun, Karang Anyar Solo, yang letaknya hanya sekitar 2 jam perjalanan darat dari rumah saya di pinggiran Kota Jogja. Saya menyesal tidak dapat hadir menyaksikan prosesi pemakamannya karena saat itu saya berada ribuan kilometer dari lokasi, mengunjungi para sahabat lama di pulau seberang.

 

Bung Karno versus Pak Harto

Bila kita mencermati dan sedikit menengok ke belakang, tampak ada kesamaan, meski tidak persis, mengenai nasib dan perjalanan panjang kedua tokoh pemimpin kita itu. Baik Baik Bung Karno dan Pak Harto, diakui telah memiliki jasa yang begitu besar terhadap bangsa ini. Bung Karno, adalah tokoh pejuang dan salah satu pendiri bangsa ini yang telah mengantarkan  kita menjadi bangsa yang besar dan di segani. Setidaknya, Bung Karno telah berhasil membawa republik ini melewati masa-masa perjuangan nan penuh tantangan. Demikian halnya dengan Pak Harto.  Beliau menjadi pemimpin negeri ini, setelah berhasil menumpas habis pemberontakan PKI, menyelamatkan NKRI dan dasar negara, sekaligus mengangkat bangsa Indonesia dari jurang kehancuran ekonomi di akhir tahun 1965. Saat itu masa-masa akhir Bung Karno berkuasa, dimana bangsa Indonesia yang sebenarnya hidup di negeri gemah ripah loh jinawi secara paradoks mengalami masa larang pangan, inflasi diatas 600%, ditandai dengan hilangnya bahan-bahan kebutuhan sehari-hari dari peredaran, dan antrean panjang warga dimana-mana untuk sekedar mendapatkan satu liter beras.

 

Di masa pemerintahan keduanya pula, kita selaku bangsa pernah merasa begitu besar, terhormat, dan disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Hampir tak ada ceritanya negeri ini dihina dan dilecehkan oleh Negara lain, apalagi negara tetangga. Berbagai prestasi di berbagai bidang, politik, ekonomi, bahkan olah raga pernah kita raih dan rasakan. Namun kemudian, di akhir kekuasaannya bangsa ini kembali terpuruk di berbagai bidang, seakan kembali ke titik nadir. Siapapun pengganti dan generasi penerusnya harus memulai kembali dari awal.

 

Bung karno dan Pak harto juga memiliki kemiripan mendasar dalam memperlakukan tokoh atau golongan yang menjadi kaum oposan atau penentang rezim dizamannya. Kita bisa mengetahui bagaimana langkah represif rezim Orde lama terhadap berbagai  pembangkangan yang dilakukan oleh, misalnya: PRII Permesta di Sumatera, DI/TII di Jawa, Sulawesi dan Sumatera, dan yang lainnya, yang notabene banyak diantara pemimpin mereka sebenarnya mantan rekan seperjuangan dan sepenanggungan Bung Karno dalam perjuangan meraih kemerdekaan dulu. Bagaimana pula cerita tragis salah satu tokoh besar sosialis kita, Bung Sutan Syahrir, di akhir hayatnya. Beliau yang dulu pernah menjadi bagian dari tiga serangkai (bersama Bung Karno dan Bung Hatta), sempat menjadi Perdana Menteri RI pertama, di akhir hidupnya begitu tragis. Hidup menderita dari penjara ke penjara hingga ajal menjemput. Teraniaya rezim tiran yang dipimpin oleh sahabatnya sendiri. Sama pilunya dengan apa yang dialami kemudian oleh Bung Karno. Hidup menderita, saat menunggu detik-detik kematiannya. Mati sunyi dan sendiri, teraniaya oleh rezim yang dipimpin oleh mantan anak buahnya, Pak harto.

 

Saat kematiannya, Bung Karno mendapatkan hujatan sekaligus pujian dari anak negeri. Oleh para pembelanya, kalangan Soekarnois dan Marhaenis, Bung Karno dianggap pahlawan pejuang, Bapak Proklamator, dan Tokoh Besar yang nyaris tanpa cela. Namun sebaliknya, oleh kalangan mahasiswa dan golongan anti-komunis, Bung Karno dihujat dan dituduh sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas keterpurukan negeri saat itu.

 

Peristiwa itu kini terulang kembali, saat Pak Harto lengser dari kekuasaannya hingga akhir hayatnya kini. Berbagai hujatan terus mengalir tiada henti sejak runtuhnya rezim orde baru, terutama dari mereka yang di masa rezim berkuasa mengalami perlakuan represif dan tidak manusiawi. Keinginan untuk lengser keprabon dan menjadi pandita, menjadi tokoh bangsa, tinggal hanya keinginan dan impian. Yang terjadi justru sebaliknya,  masa tua yang penuh dengan hujatan dan kebencian dari generasi selanjutnya.

 

Kutukan atau Kebodohan?

Apakah ini bukti adanya kutukan bagi siapapun pemimpin/penguasa negeri ini, dimana dalam sejarah kerajaan nusantara, sejak jaman Kerajaan Doha – Kediri, Singosari, lalu Majapahit, Pajang, hingga Mataram, serta kerajaan-kerajaan sebelum dan sesudahnya, nyaris selalu berakhir dengan perebutan kekuasaan dan pertumpahan darah. Ataukah semua itu hanyalah bukti bahwa kita adalah bangsa yang tidak pernah atau enggan untuk belajar dan memperbaiki diri. Semoga saja  bukan kedua-duanya. Tapi sepertinya kita sepakat, bahwa di dunia milik Tuhan ini berlaku hukum pasti, siapa menanam dia yang akan memanen hasilnya. Bila kebaikan yang dia tanam, maka hasil kebaikan pula yang akan dia dapatkan. Bila tidak di dunia, maka hasil itu akan dijumpainya di hadapan Tuhan nanti. Demikian halnya keburukan. Sebagian kalangan menyebutnya dengan istilah Karma.

 

Kearifan Kita untuk menjadi Bangsa yang Besar.

Belajar untuk menjadi lebih baik selalu dimulai dengan kemauan untuk melakukan evaluasi diri, menyadari adanya kesalahan, penyesalan yang berujung pada pertaubatan/maaf, hingga komitmen untuk berbuat lebih baik dimasa yang akan datang. Bangsa yang besar adalah bangsa yang berjiwa besar, mau mengakui kesalahan, untuk kemudian menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Bangsa yang besar tidak akan menyia-nyiakan waktu dan energinya untuk menghujat dan saling menyalahkan. Dan Bangsa yang besar adalah yang bersedia dengan ikhlas untuk memaafkan kesalahan orang lain, bahkan terhadap musuh terbesar sekalipun.

 

Bung karno dan Pak Harto adalah manusia biasa. Keduanya tidak luput dari sifat baik dan buruk, sama halnya dengan kita semua. Senang dipuja, disanjung, dan diperlakukan istimewa. Keduanya senang dengan kekuasaan dan secara naluriah berupaya untuk terus mempertahankannya. Menjelang akhir kekuasaannya dulu, Bung Karno sempat hendak diangkat oleh para wakil rakyat di MPRS dan bersedia menjadi Presiden Seumur Hidup. Wujud penghargaan dari para kroni dan pendukungnya yang sebenarnya merupakan upaya mereka untuk mempertahankan kekuasaannya mereka sendiri dengan mendompleng figur Soekarno. Demikian halnya dengan Pak Harto yang telah berkuasa selama 32 tahun, masih saja bergairah untuk terus melanjutkan kekuasaannya. Sistem dan para kronilah yang menciptakan manusia yang sifat dasarnya memang serakah dan penuh nafsu untuk terus dan terus berupaya mempertahankan kekuasaan. Para penjilat dan yang berprinsip Asal Babeh Senang selalu ada di sekeliling kita, selalu ada diantara pemimpin dan kalangan elit kita. Sayangnya ada begitu banyak para pemimpin kita yang sebenarnya begitu hebat dan agung, akhirnya terbuai oleh segala upadaya dan hasutan mereka hingga tak terasa dia pun akhirnya  jatuh ke jurang kenistaan dan kehancuran.

 

Potret Masa Kini dan Harapan ke depan.

Saat ini, setelah reformasi bergulir, muncul tokoh-tokoh baru dan muda yang oleh banyak kalangan disebut sebagai produk dari era reformasi. Adakah perubahan sikap dan karakter dari mereka dibanding para pendahulunya? Sepertinya tidak. Mereka bahkan tidak harus menunggu 32 tahun untuk menjadi pemimpin yang korup dan menyakiti rakyat. Hanya cukup 5 tahun berkuasa mereka sudah berubah menjadi kalangan elit yang dengan mudahnya melupakan rakyat sebagai konstituennya. Memang tidak semua, tapi faktanya betapa sulitnya kita menemukan wakil rakyat dan para pemimpin yang sungguh-sungguh berpihak pada rakyat. Sehingga, terkadang kita bisa mafhum ketika sosok Pak harto yang mampu berkuasa 32 tahun, pada akhirnya terjerembab ke dalam kesalahan fatal yang ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat.

 

Belajar dari sejarah juga, bahwa kepercayaan dan keyakinan kita yang begitu besar terhadap kualitas dan kredibilitas personal, un sich tokoh terbaik yang kita punya, selalu saja berujung pada kekecewaan dan kebencian yang mendalam terhadap sosok personal tersebut. Personal mungkin menjadi salah satu faktor, tapi sistem yang kita bangunlah yang menjadi faktor penentu. Sistem  yang dimaksud adalah tata negara yang dibangun oleh para wakil rakyat dan pemimpin pilihan berjiwa negarawan dan adanya komitmen bersama untuk konsisten dan penuh komitmen dalam menegakkan sistem itu. Sistem yang baik bahkan bisa menjadi alat canggih yang mampu mendeteksi berbagai penyimpangan dan penyelewengan, bahkan ketika seorang perampok mencoba masuk ke dalam sistem itu, dia tidak pernah bisa dan kuasa untuk menjalankan kelihaiannya itu.

 

Maka dari itulah, mari kita berupaya untuk mencoba memaafkan para pemimpin kita. Karena tanpa itu kita tidak akan pernah bisa menjadi bangsa yang besar. Tidak hanya terhadap Pak Harto, melainkan juga Bung Karno dan para pemimpin kita yang lain, yang diantara dosa dan kekhilafannya sebagai manusia, dalam sistem yang memang belum sempurna itu, ternyata memiliki jasa yang teramat besar bagi bangsa ini. Mereka adalah putera terbaik bangsa ini. Dan kita harus belajar banyak terhadap 2 sosok yang begitu besar di masing-masing zamannya. Keengganan kita untuk memaafkan hanya akan menghilangkan semangat untuk mau belajar, dan akhirnya kita kembali mengulang kesalahan yang sama para tokoh pendahulu kita.

 

Sejarah telah mengajarkan kepada kita tentang perjalanan hidup dua tokoh besar bangsa ini. Sejarah juga telah menjelaskan dengan gamblang carut marut kekuasaan di bumi nusantara ini. Ending dari sebuah rezim sangat bergantung kepada bagaimana Sang Penguasa bersikap dan memperlakukan mereka yang tersingkir dan tersisihkan. Bila Tokoh atau Sang Penguasa, dengan kekuasaan dan kemenangannya lalu lupa daratan, besar kepala, arogan, dan melupakan hakikat jabatan sebagai amanah yang semestinya harus dijaga dengan koridor kebijakan, maka sudah dipastikan bahwa akhir dari kekuasaan itu adalah kehancuran dan rasa sakit yang tak berperi baginya di kemudian hari. Bila di hari-hari kekuasaannya dipenuhi dengan langkah-langkah represif, pembersihan besar-besaran terhadap rezim lama, memporakporandakan sistem tanpa melihat kompetensi dan nilai profesionalitas secara jujur, maka sejak saat itu pula Sang Pemimpin akan hidup ditengah-tengah nuansa dendam dan kebencian. Hidup seakan menunggu saat-saat kejatuhan yang tragis dan menyakitkan. Seperti ketika Ken Arok menunggu hari demi hari terwujudnya laknat Empu Gandring sesaat setelah Dia menancapkan keris gandring di dada sang pembuatnya itu.

 

Dalam budaya dan ajaran jawa kita mengenal pepatah: ”nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”, yang artinya menyerang tanpa membawa bala tentara, menang tanpa [merasa jatuh] lawan. Sebuah ajaran yang sebenarnya begitu luhur dan ideal untuk dipegang oleh para pemimpin pujaan kita. Ketika kita berada pada posisi menjadi pemimpin, maka langkah yang pertama dan utama kita lakukan adalah merangkul. Merangkul sumber daya-sumber daya terbaik, the most beautiful mind, tanpa membeda-bedakan dan mengotak-kotakan mereka ke dalam sekte atau faksi yang bertentangan satu sama lain, untuk bersama-sama membangun bangsa dan negeri. Merangkul bukan didasari oleh niatan setengh hati disertai motif politik penuh muslihat, melainkan didasari oleh kepentingan bangsa dan negeri, mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan bersama, meraih cita-cita menjadi bangsa yang besar dan disegani.

 

Yogyakarta, 31 Januari 2008

 

 

Iyuk Wahyudi

 

 

KKMB, Penghubung Bank dan UMKM

Dalam upaya lebih mengefektifkan penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pemerintah telah membentuk Konsultan Keuangan Pendamping Usaha Mikro Kecil dan Menengah Mitra Bank (KKMB). Pembentukan KKMB merupakan kelanjutan dari kesepakatan (MoU) antara pemerintah melalui Menko Kesra selaku Ketua Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) dan Gubernur Bank Indonesia, yang ditandatangani 22 April 2002. Untuk mendukung pelaksanaan tugas tersebut dibentuklah satuan tugas (task force) yang terdiri atas berbagai unsur stakeholders.
Dari kesepakatan tersebut tampak adanya pergeseran paradigma dan strategi pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan tidak cukup hanya menggunakan pendekatan charity (belak kasihan) seperti yang selama ini dilakukan, tetapi perlu adanya strategi dan terobosan baru melalui pengembangan kegiatan produktif yang dijalankan oleh masyarakat sendiri. Sedangkan pemerintah lebih memposisikan diri sebagai stabilisator dan fasilitator dengan memberikan kemudahan dan kesempatan berusaha bagi masyarakat. Dalam strategi ini pemerintah berupaya melibatkan peran serta perbankan. Misalkan, bagaimana agar dana perbankan dapat disalurkan untuk membiayai usaha mikro yang nyata-nyata bersentuhan langsung dengan mayoritas masyarakat miskin.
Sebagian besar kalangan masih menganggap KKMB sebagai wacana yang sulit untuk dilaksanakan. Pandangan miring tersebut sebenarnya lebih merupakan sikap apriori masyarakat terhadap peran perbankan nasional yang dianggap belum berpihak terhadap masyarakat ekonomi kecil dan mikro. Bagaimana tidak, banyak keluhan terlontar ketika pelaku usaha mikro-kecil mencoba berhubungan dengan perbankan. Baru saja mereka menanyakan prosedur pengajuan pinjaman, petugas bank sudah menanyakan berbagai persyaratan administratif, legalitas usaha, dan jaminan aset. Tentunya semua itu menjadi kendala yang cukup merepotkan para pelaku usaha kecil yang memang tidak terbiasa dengan berbagai prosedural dan ketentuan administratif tersebut. Tak jarang mereka akhirnya memilih untuk tidak berhubungan dengan perbankan dan lebih senang menjadi nasabah rentenir karena dianggap lebih cepat, simple, dan fleksibel meskipun dengan tingkat bunga yang cukup tinggi.
Sebuah ironi terjadi ketika kalangan perbankan justru mengeluhkan kesulitan dalam menyaluran kredit kecil-mikro meski sebenarnya dana yang tersedia cukup besar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Bank Indonesia, realisasi business plan 14 bank umum tahun 2002 telah melampaui target penyeluran kredit untuk UMKM, yakni dari target Rp 30,89 triliun telah terealisir hingga mencapai Rp Rp 35,9 triliun, atau 116 persen. Namun banyak kalangan berpendapat bahwa realisasi tersebut lebih banyak berupa kredit konsumtif, seperti kredit kendaraan atau kartu kredit. Padahal yang harapkan adalah penyaluran kredit untuk menggerakkan ekonomi produktif yang memiliki multiflier effect yang tinggi.
Di tahun 2003 lalu, business plan penyaluran kredit UMKM perbankan nasional meningkat menjadi Rp 42,4 triliun. Namun hingga akhir kwartal ketiga tahun 2003 tercatat tidak lebih separuhnya yang terealisir. Dari data tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak hanya pelaku UMKM yang merasa kesulitan dalam mengakses dana perbankan, tetapi sebaliknya perbankan pun mengalami hal yang sama. Tak heran bila banyak kalangan menggambarkan hubungan perbankan dan UMKM bagaikan dua rel keretaapi, meski sama arah dan tujuan namun tak pernah mencapai titik temu.
Atas dasar kenyataan itulah KKMB lahir untuk mampu menjembatani (bridging) atau penghubung (intermediasi) antara perbankan dengan pelaku UMKM. Untuk mampu memenuhi harapan tersebut konsultan KKMB semestinya memiliki beberapa persyaratan antara lain:
1. Memahami baik (well-educated) tentang product knowledge dan ragam persyaratan pembiayaan perbankan serta derivasi produk lainnya.
2. Memiliki kemampuan membangun jaringan dengan kalangan perbankan dan pelaku usaha.
3. Memiliki kemampuan di bidang akuntansi, manajemen keuangan, dan penyusunan proposal pembiayaan.
4. Memiliki pengalaman (track-record) mendampingi UMKM dalam mengajukan proposal pembiayaan.
5. Memiliki hubungan dengan segenap stakeholders lainnya seperti: lembaga perizinan, notaris, perguruan tinggi, dan lain-lain.

Dalam melaksanakan perannya, setidaknya ada tiga lingkup pekerjaan yang harus dilakukan oleh konsultas KKMB, yaitu:
1. Aspek administratif, meliputi aktivitas pembuatan sistem administrasi keuangan, penyusunan laporan keuangan, pembuatan proyeksi cashflow, proposal kelayakan usaha, dan lain sebagainya.
2. Aspek legalitas, meliputi penyiapan perizinan usaha, kontrak kerjasama, dan advokasi.
3. Aspek pemasaran dan teknis, meliputi informasi dan akses pasar, database supplier, informasi teknologi, software-hardware dan lain sebagainya.

Ketiga aspek tersebut adalah lingkup minimal, artinya sangat mungkin lingkup KKMB akan meluas seiring dengan tuntutan dan kebutuhan UMKM sebagai mitra KKMB.
Peranan KKMB sebagai jembatan atau penghubung antara UMKM dengan perbankan, yang mampu mentransformasi UMKM non bankable, menjadi eligible, hingga akhirnya menjadi bankable, akan menghadapi kendala manakala tidak diikuti oleh kemauan perbankan atau otoritas kebijakan perbankan untuk sedikit melonggarkan persyaratan kredit bagi UMKM. KKMB menjadi tidak berarti ketika harus kembali menghadapkan UMKM dengan aturan perbankan yang strickly. Misalnya ketentuan tentang nilai jaminan hingga mencapai 120 persen dari plafon kredit. Keberadaan KKMB hanya bisa mengubah UMKM dari yang semula tidak bankable dari sisi administrasi dan legalitas menjadi UMKM yang tertib administrasi, accountable, dan terukur, serta mampu memenuhi persyaratan minimal perizinan usaha.
Bila kalangan perbankan menerima sepenuhnya dan mempercayai akan kompetensi serta profesionalisme konsultan KKMB, semestinya perbankan memberikan perlakuan khusus terhadap UMKM yang telah mendapatkan polesan dan pendampingan manajemen dari konsultan KKMB. Berbagai kemajuan yang diperoleh UMKM dari program pendampingan KKMB, baik dari sisi administratif, pemasaran, maupun legalitas, semestinya dipandang sebagai unsur pengurang (reducer) resiko sehingga akan bermuara pada pengurangan bobot dari nilai agunan fisik. Bila hal tersebut benar-benar terwujud, maka tidak hanya pelaku UMKM dan perbankan yang diuntungkan, citra KKMB pun akan semakin baik dimata UMKM.
Menangani persoalan UMKM memang tidak bisa secara sektoral dan parsial. Pemberdayaan UMKM tentu tidak akan bisa lepas dari peran serta pemerintah sebagai salah satu stakeholder strategis. Ada banyak hal yang bisa dilakukan, salah satunya adalah dengan terus menghidupkan dan mengembangkan program dana penjaminan dan restrukturisasi usaha yang selama ini dirintis dan dikelola oleh Kementrian Koperasi dan UKM. Pemerintah, melalui departemen terkait memberikan penjaminan kredit bagi UMKM yang mengajukan kredit perbankan namun kesulitan dalam memenuhi persyaratan agunan/jaminan. UMKM yang mendapat pendampingan KKMB serta program dana penjaminan dari pemerintah inilah yang diharapkan akan dengan mudah mengakses dana perbankan.
Pada akhirnya, program yang komprehensif dan sinergis antara KKMB, perbankan, pemerintah, asosiasi profesi, perguruan tinggi dan pihak terkait lainnya dalam membantu mengembangkan UMKM menjadi momentum yang amat ditunggu-tunggu oleh para pelaku UMKM.

*) Oleh Iyuk Wahyudi – Penulis adalah Koordinator BAC PT PNM Jogja, dan Anggota Satgas KKMB Jogja.

Arsip website PNM, 17 March 2004 00:00

http://www.pnm.co.id/content.asp?id=738&mid=54

Membangun Sinergi: Perbankan, UKM, dan Konsultan

Selalu saja terasa hangat dan menarik bila kita menyimak perdebatan antara pelaku UKM dengan kalangan perbankan. Seperti yang terjadi dalam forum diskusi yang diselenggarakan Bank Indonesia Cabang Yogyakarta, bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada belum lama ini, nuansa saling menyalahkan itu sangat kentara. Kalangan UKM merasa bahwa kontribusi perbankan dalam pengembangan usahanya masih jauh dari harapan. UKM selalu terbentur oleh berbagai persyaratan yang diterapkan perbankan dengan dalih prudential banking. Disisi lain, perbankan berupaya membela diri dengan menuding UKM tidak memiliki kesungguhan dan daya juang untuk memenuhi apa yang disyaratkan. Tidak heran kalau ada yang menggambarkan hubungan UKM dan perbankan dengan istilah “benci tapi rindu”. Benci, karena UKM harus menghadapi berbagai aturan; dan rindu karena UKM tetap membutuhkan peran perbankan untuk pengembangan usahanya.
Bagi kalangan akademisi atau pengamat yang kebetulan berada di tengah-tengah perdebatan tersebut, terkadang sulit mengambil sikap. Perbankan juga tak bisa disalahkan karena dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dari krisis, ekspansi pembiayaan tentunya cukup beresiko. Prudential banking dengan berpegang pada asas 5 C (Character, Collateral, Capital, Capasity, Conditional) merupakan hal yang wajar, karena bagaimanapun perbankan harus bertanggungjawab atas dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya.
Disisi lain, UKM sebagai pelaku ekonomi sektor riil amat membutuhkan kucuran dana sebagai stimulus bagi pengembangan usahanya, yaitu dana yang cukup, pada waktu yang tepat, dengan cost of fund dan persyaratan yang relatif terjangkau. Ada dugaan bahwa perbankan yang sebelumnya lebih condong melayani sektor korporasi, mengalami kesulitan ketika harus berhadapan dengan nasabah UKM. Berbeda dengan UKM, sektor korporasi memiliki struktur yang relatif mapan, karena sudah menerapkan manajemen profesional, pemanfaatan tenaga ahli, berbagai piranti lunak pendukung, tenaga konsultan profesional, termasuk pemanfaatan jasa perbankan. Kesemuanya itu tentu akan lebih mempermudah perbankan dalam memutuskan kreditnya. Paling tidak berbagai persyaratan administratif yang dibutuhkan perbankan akan mudah dipenuhi oleh pelaku usaha di sektor ini.
Berbeda dengan nasabah UKM, dimana hampir seluruh aktivitasnya cenderung dikendalikan oleh seorang pemilik yang sekaligus merangkap pimpinan perusahaan. Sistem informasi keuangan dan administrasinya kadang belum diterapkan secara layak, sehingga tidak memiliki laporan keuangan dan sulit untuk sekadar mengetahui mengenai track record usahanya. Para pelaku UKM juga belum banyak yang menggunakan fasilitas perbankan seperti giro, misalnya. Mereka lebih sering dan lebih senang melakukan transaksi secara langsung atau tunai. Ketika perbankan menjadikan lalulintas arus kas (cashflow) dalam rekening koran sebagai acuan, maka jarang sekali UKM tersebut bisa memenuhinya.
Ironisnya, semua penomena tersebut didefinisikan oleh perbankan sebagai situasi yang beresiko tinggi. Sebagai imbangannya perbankan lantas memposisikan aspek agunan (collateral) sebagai pertimbangan utama dalam memutuskan kreditnya. Tidak jarang UKM harus mengagunkan aset yang nilainya jauh melebihi ketentuan normal, dibandingkan dengan nilai pinjaman yang diperolehnya.
Namun demikian, tidaklah tepat bila kita menyalahkan perbankan secara sepihak. Diakui bahwa perbankan tidak memiliki kemampuan dan sumberdaya yang cukup untuk bisa mengetahui bisnis UKM dengan segala prospeknya. Yang mereka bisa lakukan hanyalah mengkaji dan menganalisa data kuantitatif seperti laporan keuangan, rekening koran, neraca, laporan rugi laba, dan sebagainya. Sayangnya, banyak UKM yang tidak mampu menyediakan data yang dibutuhkan, malahan persyaratan itu dianggap terlalu sulit untuk dipenuhi.
Terlepas dari perdebatan tersebut, tentunya semua pihak sepakat bahwa hubungan yang tidak harmonis antara pelaku UKM dengan perbankan bukanlah hubungan yang ideal. Perbankan akan menghadapi kesulitan apabila tidak mampu menggulirkan dananya sesuai target yang diharapkan. Sebab, bank juga harus memenuhi kewajiban membayar bunga kepada nasabah atau pihak ketiga lainnya. Di lain pihak, peranan perbankan masih sangat dibutuhkan oleh UKM, karena untuk lebih memperbesar kapasitas usahanya, tentunya UKM tidak bisa hanya mengandalkan modal sendiri.
Menyikapi kondisi tersebut, muncul gagasan perlunya dibentuk lembaga konsultansi independen yang berfungsi menjembatani kepentingan UKM dengan perbankan. Lembaga ini akan mencarikan solusi untuk lebih mendekatkan UKM dengan perbankan, atau dengan kata lain menjadikan UKM yang tidak bankable menjadi bankable.
Lembaga semacam ini sebetulnya sudah banyak dikembangkan, baik yang dilakukan oleh perorangan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi, maupun oleh lembaga konsultan profesional, dengan sebutan yang bermacam-macam seperti Business Development Service (BDS), Business Advisory Center (BAC), perusahaan konsultan, Klinik Konsultansi Bisnis (KKB), dan sebagainya. Bahkan baru-baru ini, pihak Bank Indonesia (BI) bekerjasama dengan Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) telah membentuk Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB). Dasar pemikirannya sama dengan lembaga sejenis lainnya, yaitu mencari solusi untuk lebih mendekatkan pelaku UMKM dengan lembaga pembiayaan khususnya perbankan.
PT Permodalan Nasional Madani (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang pembiayaan dan jasa manajemen bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK), sejak dua tahun lalu telah membangun kompetensi di bidang jasa manajemen dan telah menghasilkan berbagai produk seperti: jasa penyusunan laporan keuangan, jasa penyusunan proposal kredit (kredit biro), jasa business audit, proposal kelayakan usaha, jasa pendampingan, serta berbagai jasa pelatihan bagi UMKMK. Semua layanan tersebut lebih diarahkan pada satu tujuan yakni mengupayakan agar UMKMK yang tidak bankable menjadi eligible dan akhirnya bankable.
Berbagai jasa manajemen yang ditawarkan PNM tersebut dikelola melalui 12 Kantor Cabang PNM yang tersebar di seluruh Indonesia melalui unit kerja Business Advisory Center atau Sentra Bina Usaha (SBU). Dalam proses pengembangannya, PNM juga telah menjalin kerjasama dengan Perguruan Tinggi, asosiasi maupun perorangan, serta lembaga-lembaga profesional yang sesuai dengan basis kompetensi yang dibutuhkan.
Kehadiran berbagai lembaga konsultansi, apapun nama, patut mendapatkan dukungan dari kita semua. Namun satu hal yang tidak boleh dilupakan, bahwa sebagai lembaga penghubung antara UKM dan perbankan, haruslah mampu mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak. Selain memahami betul karakteristik bisnis UKM, juga harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengenai bisnis perbankan. Pemahaman atas kedua aspek itu akan sangat menentukan tingkat keberhasilan dari lembaga konsultan tersebut dalam menjalankan fungsi dan perannya.

*) Oleh: Iyuk Wahyudi (Penulis adalah Koordinator Program SBU PT PNM Cabang Yogyakarta)

Arsip website PNM, 2 October 2003 00:00

http://www.pnm.co.id/content.asp?id=611&mid=54