KEISTIMEWAAN JOGJA, Apa yang dituju?

KEISTIMEWAAN JOGJA
Apa yang dituju?
Sebuah Kesaksian Pribadi
Oleh: Iyuk Wahyudi

Mengikuti perkembangan opini dan sikap masyarakat Jogja serta para pengamat tentang Keistimewaan Jogja membuat hasrat saya terusik untuk ikut menyuarakan hal serupa. Saya, yang telah 15 tahun berada di Kota Jogja, dan telah menjadikan kota ini sebagai Kota Kedua dalam hidup saya tentu akan dan selayaknya peduli dengan apa yang telah dan akan menimpa kota nan damai ini. Bahwa apapun yang nantinya akan diputuskan haruslah yang berdampak terbaik bagi masyarakat Jogja. Termasuk perihal polemik mengenai pengesahan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta oleh Pemerintah Pusat yang hingga saat ini masih berlarut-larut.

Menarik apa yang ditulis oleh Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III (1978-1983) dan saksi sejarah yang sempat tinggal dan aktif dalam pergerakan rakyat menentang penjajah di Yogyakarta semasa revolusi fisik, dalam Opini Kompas tanggal 7 Oktober 2008 lalu, bahwa kebenaran hakikat sebagai pertimbangan para tokoh pejuang 45 dalam memutuskan keistimewaan Yogyakarta tidak semestinya diragukan oleh generasi ‘reformis’, termasuk para pejabat yang saat ini sedang berkuasa, seperti yang saat ini terjadi. Pertimbangan Keistimewaan Yogyakarta itu tidak hanya kebenaran semata, tetapi kebenaran bernilai sejarah, dan bukan untuk mengukuhkan monarki absolut di Yogya. Lebih lanjut beliau juga mengatakan, bahwa para tokoh pejuang 45 itu tidak kalah cerdas, terdidik, dan patriotik dari pada tokoh reformis sekarang, sehingga jangan sekali-kali beranggapan bahwa mereka tidak cukup tahu soal ketatanegaran, yang lalu bermuara pada keraguan itu. Keraguan dan upaya untuk meniadakan keistimewaan telah mempertaruhkan martabat Sultan, Paku Alam, serta seluruh warga Jogja. Lebih dari itu, keraguan itu juga telah mencederai intellectual dignity dan political credibility dari para tokoh pejuang kemerdekaan 45 yang telah memutuskan hal itu.

Bagi kita kalangan muda di orde reformasi ini, ketika kita harus membandingkan para tokoh lama republik dengan para tokoh reformasi kita mengenai seberapa besar ‘kadar’ patriotisme, kredibilitas, dan apalagi kenegarawanan, maka hal itu laksana perbandingan antara lebih besar mana gajah dan semut, atau lebih luas mana lautan dan anak sungai. Sangat jauh, dan tidak layak diperbandingkan. Bahkan ketika para tokoh kita yang kini duduk di legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan telah menghasilkan produk-produk hukum/undang-undang yang berlaku, kadang dalam hati kecil kita muncul keraguan apakah semua produk hukum yang akhirnya menjadi pedoman dan acuan publik itu telah dihasilkan atas dasar profesionalitas dan jiwa kenegarawanan para pejabat yang meloloskannya. Sebab, tanpa dua hal tersebut, profesionalitas dan jiwa kenegarawanan, apapun yang dihasilkan tidak akan mampu memenuhi harapan hakiki publik, penuh dengan tendensi dan mencerminkan berbagai kepentingan sesaat. Meski secara legal formal mungkin telah melalui mekanisme yang sesuai aturan yang berlaku. Nurani Profesionalisme dan kenegarawanan sangat diperlukan guna melahirkan berbagai kebijakan yang bernafaskan daulat rakyat.

Faktanya, kita semua tentu sepakat bahwa saat ini begitu sulit menemukan figur atau tokoh publik yang benar-benar memiliki jiwa kenegarawanan. Kita sulit mencari pembanding sosok seperti: Cipto Mangunkusumo, HOS Cokroaminoto, KH Dhahlan, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Dr. Soetomo, Ki Hajar Dewantoro, dan tokoh-tokoh lama yang lainnya. Yang kita temukan saat ini lebih banyak tokoh yang cenderung sekedar mencari populeritas, penuh intrik dan kepentingan, dan tak jarang yang bersikap kekanak-kanakan. Malahan beberapa waktu yang lalu ada begitu banyak para tokoh utama negeri ini yang justru terperangkap dalam tindakan-tindakan tak terpuji dan menyakiti rakyat.

Keistimewaan Yogyakarta adalah keputusan akhir hasil buah pertimbangan sangat matang para negarawan masa lalu negeri ini. Mereka tidaklah kalah cerdas dan kompetennya dengan para ahli tatanegara saat ini. Banyak dari mereka lulusan dari universitas terkemuka dalam bidang ketatanegaran di negeri Belanda. Mereka adalah golongan yang sanggup hidup sederhana, patriotik pejuang, yang tak pernah berpikir menggadaikan kepentingan ibu pertiwi dengan kepentingan dan kenikmatan sesaat. Mereka adalah para negarawan profesional, sehingga buah pikirannya pun pastilah bernafaskan daulat rakyat.

Saya, bukanlah seorang pengamat dan ahli tatanegara. Saya hanyalah warga biasa yang kebetulan memiliki ikatan kuat dengan bumi Jogja. Namun hati saya jadi terusik ketika ada sebagian kalangan yang menganggap dan mengesankan bahwa gonjang ganjing masalah keistimewaan Jogja ini adalah bagian dari ambisi Sri Sultan (HBX). Ambisi beliau untuk tetap menjadi gubernur sekaligus Raja Jogja.

Bagi saya, mereka yang berpandangan tersebut adalah yang kurang memahami secara jernih Sri Sultan dan kondisi faktual masyarakat Jogja. Bila hanya sekedar keinginan untuk tetap menjadi gubernur, sebenarnya mau pemilihan ataupun penetapan hasilnya akan sama saja. Sultan tetap menjadi pilihan dan panutan rakyat. Karena bagi masyakakat Jogja, Sri Sultan adalah figur yang tak ada bandingannya dalam memimpin warga.

Sebagai pewaris kesultanan Jogja, bersama ‘saudara muda’ Paku Alam di Pakualaman, beliau memiliki tanggungjawab besar untuk mengantarkan dan melindungi hak keistimewaan kesultanan hingga melewati masa-masa yang serba tidak menentu ini. Hak yang lahir sebagai penghargaan tulus para pendiri negara atas kesetiaan, pengorbanan, perjuangan, dan kepeloporan kesultanan terhadap NKRI. Sekali lagi, bukan untuk dirinya, tapi untuk kepentingan kesultanan yang nyata-nyata oleh pendiri republik inipun diakui keistimewaannya.

Perjuangan menjaga keistimewaan ini sebenarnya telah pula dilakukan oleh pendahulunya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tentu dengan gaya dan strategi yang berbeda, yang bahkan orang-orang terdekatnya pun tidak cukup paham mengenai hal itu. Hingga saat menjelang wafatnya beliau sempat menyampaikan penyesalannya, bahwa sikap diam yang selama ini dilakukannya [dan mungkin itu adalah strategi yang diambilnya] ternyata tidak mampu mengubah keadaan yang lebih baik bagi masyarakat. Diam hanya efektif dalam lingkungan yang dipenuhi sikap empatik dan peduli. Lingkungan dimana seseorang tak harus menyampaikannya secara verbal, maka orang lain akan mengerti dan memahaminya sejernih budaya verbal itu sendiri. Hal inilah yang tampaknya mengilhami Sri Sultan untuk selanjutnya mengambil sikap dan pendekatan yang lebih taktis dan cenderung dirasakan progresif, ’menimbulkan daya kejut’ oleh banyak kalangan. Memang tidak selamanya diam itu emas. Dan Sri Sultan sangat paham mengenai hal itu.

Saya mungkin termasuk sedikit orang yang ‘beruntung’ berkesempatan dekat dengan keluarga Keraton Ngayogyakarta. Keterlibatan saya dalam aktivitas sosial kemasyarakatan di Yogyakarta selama ini telah mempertemukan dan mendekatkan saya dengan sosok Gusti Kanjeng Ratu Pembayun (GKRP), puteri sulung Sri Sultan dan GKR Hemas. Beliau adalah sosok muda yang peduli, merakyat, dan pekerja keras. Hampir separuh waktunya dihabiskan dalam berbagai kegiatan sosial dan kemasyarakatan, disela-sela urusan profesional dan tugas ibu rumah tangga yang dijalaninya. Berbagai jabatan diembannya, dari mulai Ketua Ibu-Ibu Abdi Dalem Keraton, Ketua Masyarakat Organik, Ketua Karang Taruna, Ketua Pedagang Pasar Seluruh Indonesia Propinsi Yogyakarta, Ketua Masyarakat Agribisnis, Ketua Asosiasi Kelompok UPPKS yang beranggotakan lebih dari 90.000 ibu-ibu pra-sejahtera tersebar hingga pelosok pedesaan, Ketua Yayasan Anak Bangsa, dan berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya.

Sebagai kawan dekat, tentu banyak tahu kisah dan cerita seputar keluarga keraton. Dari sekian kisah yang menarik, ada satu kisah yang cukup mengagetkan dan membuat saya semakin kagum dengan sosok Sri Sultan dan keluarganya. Pada suatu ketika, Si Mbak (panggilan saya untuk GKR Pembayun) bercerita selama inibahwa banyak orang-orang dekatnya yang mengajak beliau berbisnis dan berkongsi. Banyak dari mereka yang mengharapkan akan adanya kemudahan dan previlage beliau sebagai anak sultan dan gubernur untuk melancarkan bisnisnya nanti. Namun dengan halus semua tawaran itu ditolaknya hanya karena khawatir pada akhirnya mereka akan kecewa. Mengapa?

Lalu Si Mbak melanjutkan ceritanya, Beberapa saat ketika HBX diangkat menjadi Gubernur, beliau lalu mengumpulkan keluarga, istri dan kelima puterinya untuk diberikan wejangan dan nasihat, termasuk dirinya. Yang pada intinya, HBX tidak ingin anak-anaknya terlibat dalam kegiatan bisnis, yang baik secara secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan proyek-proyek pemerintah daerah atau yang terkait dengan jabatan gubernur. Selanjutnya beliau ‘membai’at’ kelima puterinya itu untuk menyatakan kesanggupan atas titah beliau tersebut. Sebagai puteri sulung, tentu GKRP harus memberikan teladan dan yang pertama menyatakan kesanggupan itu. Meski kadang dalam hati kecilnya beliau berontak, ‘bahkan anak raja pun sebenarnya berhak untuk bekerja guna menghidupi keluarganya’. Tapi akhirnya semua itu mereka jalani dengan keikhlasan dan rasa syukur. Bilapun saat ini GKRP banyak menduduki jabatan strategis di beberapa perusahaan milik keraton, semata-mata sebagai representatif ayahandanya yang secara undang-undang memang tidak diperbolehkan menjabat posisi manajerial selain gubernur. Sri Sultan telah memahami arti penting clean governance dan menghindar dari konflik kepentingan, jauh sebelum munculnya tren fakta integritas dan good corporate governance seperti yang selama ini ramai kita dengar.

Sangat kontras dengan keadaan dan ceritanya anak/kerabat pejabat di daerah lain, bukan? Jangankan anak gubernur, anak bupati di daerah lain banyak yang begitu merajalela. Semua anggaran dan proyek basah di daerah hampir pasti ada keterlibatan anak atau kerabat pejabat.

Sri Sultan, setahu saya hingga saat ini, juga melarang puterinya itu terjun dan terlibat aktif dalam aktivitas berbau politik praktis. Semua kegiatan GKRP hanya boleh dilakukan untuk hal-hal yang menyangkut kegiatan-kegiatan pengembangan sosial, budaya, dan pendidikan. Memang agak aneh ketika membandingkan dengan para koleganya, seperti: Gusdur dan Megawati, yang begitu getol menyiapkan anak-anaknya sebagai pengganti tahta mereka. Tapi begitulah Sri Sultan, bahkan saya pun sering menggoda puterinya itu untuk mulai ‘belajar’ tentang politik. Setidaknya politik etis untuk proses pembelajaran. Karena bagi saya, keterlibatan GKRP dalam politik adalah keniscayaan, hanya masalah waktu.

Andai saya boleh mengira-ngira ada apa dibalik sikap beliau, mungkin Sri Sultan memiliki pertimbangan lain untuk generasi penerusnya itu. Bahwa menjadi tokoh tidaklah mesti melalui jalur kepartaian. Ketokohan bisa didapat melalui kiprah dan kerja nyata, sepi ing pamrih rame ing gawe. Para tokoh yang meraih ketokohannya dari mekanisme mesin politik biasanya dikenal masyarakat sebagai tokoh yang hanya hidup dalam tataran wacana, tidak membumi, dan terkadang bahkan tidak dikenal dekat masyarakat. Sehingga gampang pula membodohi dan menyakiti rakyat. Apalagi bila ketokohan itu didapat sebagai warisan atas ketokohan orang tuanya, tanpa berupaya menjalani prosesi kaderiasasi dari bawah secara ulet dan sabar.

Sebaliknya tokoh yang tumbuh dari bawah karena kiprah dan aktivitas sosialnya sudah pasti akan dikenal dan dicintai masyarakat. Dia akan besar, bahkan melebihi kebesaran partai itu sendiri. Apalagi di jaman pemilihan langsung, dimana mesin partai relatif tidak lagi banyak berperan, maka ketokohan generik itu akan menjadikan magnet dan daya tarik siapapun, termasuk partai, untuk meminangnya sebagai pemimpin dan tokoh panutan.

Hal-hal tersebut itulah yang membuat saya yakin bahwa berbagai move dan berbagai langkah kejutan Sri Sultan untuk mengupayakan pengakuan negara akan keistimewaan Jogja selama ini, bukanlah karena ambisi pribadi dan nafsu duniawi semata. Melainkan sebagai wujud tanggungjawab beliau sebagai pemangku tertinggi kesultanan Yogyakarta. Karena Sultanlah yang paling bertanggungjawab terhadap warisan keistimewaan itu sendiri. Keyakinan itu tetap terjaga meski beberapa waktu yang lalu Sri Sultan akhirnya menerima keputusan Pemerintah Pusat untuk memperpanjang jabatan Gubernur Yogyakarta hingga 3 tahun lagi.

Penulis adalah penggiat aktivitas sosial di Jogja, Sekjen Corporate Forum for Community Development (CFCD) Chafter Jogja, saat ini tinggal di Medan dalam rangka tugas.